Selasa, 04 September 2007

NURANI YANG MERDEKA

M. Adzkiya
( Mantan Ketua PII Jogja)
Tatkala berhitung dan bercerita tentang kemerdekaan maka Indonesia sudah 62 tahun di tanggal 17 Agustus 1945. Tentu tidak bisa dikatakan gagal total dalam mengakomodir komunitas imajinernya Benedict Anderson. Dimana unsur penyatuan dalam bingkai nasionalisme dari sebelum kemerdekaan hingga sekarang dikatakan sebagai konsensus politik yang belum tentu semua warganya ambil bagian saling mengerti satu sama lain perihal masa depannya.

Telah banyak harta dan nyawa yang menjadi martir-martir tak berdosa, mengorbankan dan mendedikasikan pergulatan demi dinamika kebangsaan. Ada saja perspektif yang bermain di dalamnya bisa karena factor ekonomi, agama, kebudayaan, bahkan factor heroisme temporer juga sering menjadi klaim pembenar. Sejarah mencatat periode heroik atau kebangkitan bangsa dalam memulai tatanan yang lebih baik ada 5 tahap
1. 1908 Boedi Utomo
2. 1928 Sumpah Pemuda
3. 1945 Proklamasi
4. 1966 Orde Baru
5. 1998 Orde Reformasi
Epos kepahlawanan dalam episode tersebut seolah timbul tenggelam bagaikan lakon skenario sinetron. Ada saja tragedi-tragedi puncak untuk mentasbihkan diri bahwa di fase tersebut seorang, kelompok atau pemimpin merasa besar, benar dan bertanggungjawab untuk ambil bagian menyelesaikan masalah dan nantinya setelah berkuasa lupa diri itu sudah dialami semenjak Sukarno yang katanya founding fathers, Suharto yang tak kalah keren disebut bapak pembangunan dan seterusnya hingga presiden sekarang ini. Sukarno tenggelam karena keterlibatan dengan sosialisme-komunisme, Suharto tenggelam karena dampak pembangunan yang rakus menyerap dan korup terhadap anggaran negara.
Benar demikian terasa perspektif kemerdekaan ini bila dilihat dalam kacamata budaya massa akan nampak kesukacitaan dan ekspektasi semangat kepahlawanan yang luar biasa sebagaimana kita bisa tonton dalam media publik maupun upacara-upacara kemerdekaan, bahkan tak kalah spektakuler permainan-permainan dalam rangka memperingati kemeriahan hari kemerdekaan. Tentu dalam kacamata awam lebih sedikit yang bisa bergejolak menolak argumentasi ini. Bukankah derita lebih sering mengakrabi manusia Indonesia daripada kebahagiaan, kesejahteraan dan keadilan.
Terlampau mudah bila meneropong proses perjalanan nurani kemerdekaan dalam bingkai elite-penguasa, sebab yang ada tentunya nostalgia cerita masa lalu bahwa kejayaan bangsa telah teraih semestinya. Namun saat ini mata dan hati nurani kita mesti risau dan gelisah benarkah kita telah merdeka ? Merdeka dari apa? sekedar kedaulatan di atas teks proklamasi jelas itu ada buktinya. Merdeka dari campur tangan ekonomi global (neoliberalisme) inilah yang belum sebab sudah sejak zaman kolonial 1870 (politik agraria) kuku-kuku tajam kerakusan sudah ditancapkan dalam-dalam untuk mengeruk kekayaan sumber daya alam negeri ini. Beberapa data menunjukkan representasi keterpurukan bangsa membentang terang: penduduk miskin berjumlah 37,17 juta dan pengangguran terbuka di Indonesia dalam bulan Februari 2007 mencapai 10,55 juta orang atau 9,75 persen dari total angkatan kerja sebesar 108,13 juta orang (BPS, 2007). Dampaknya semakin terasa negeri ini semakin miskin dan dalam dunia pendidikan sudah menjadi rumus bila ingin mendapat kualitas maka biaya tinggi/ mahal. Angka 44 trilyun rupiah ternyata belum cukup untuk membiayai proses pendidikan yang menjangkau dan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia.
Akhirnya kita sebagai bagian dari ratusan juta masyarakat Indonesia lainnya hanya mampu berharap terhadap perubahan yang menyentuh nurani kemanusiaan yang itu lebih esensi yakni memerdekakan segenap umat manusia dari keterpinggiran, keterbelakangan, kebodohan dan lainnya. Usaha sekecil apapun niscaya akan mampu memperkuat sendi-sendi kemerdekaan kita dari ketergantungan terhadap pihak manapun. Sekali ada kesempatan merubah nurani ini pasti juga bergejolak sembari bergumam semoga saja kita tidak sedang berimajinasi yang tidak-tidak, karena terlelu lama menunggu datangnya perubahan yang tidak kita canangkan bersama sejak sekarang sebagai orang merdeka.

17 Agustus 1945

Selengkapnya...

Kamis, 02 Agustus 2007

PENJARA(H)-PENJARA(H) MANUSIA

Peta bukanlah wilayah, persepsi bukanlah realitas (Ibrahim El-Fiky)

Seorang aktivis perempuan pejuang gender memilih untuk menunda pernikahan, menurutnya, pernikahan itu membelenggu kemerdekaan perempuan. Ia berkesimpulan begitu karena sang feminis tersebut sering mendapati dilapangan tentang realitas rumah tangga yang membelenggu, apalagi itu terjadi pada kawan-kawan dekatnya. Bahkan baru-baru ini, dia menyaksikan pertengkaran hingga penyiksaan fisik sebuah keluarga yang kebetulan tantenya sendiri. Fenomena terkungkungnya perempuan dari peran rumah tangga yang terjadi, membuat dia ragu atau selalu menunda-nunda untuk menikah hingga diusianya yang tiga puluhan lebih itu. Padahal sudah beberapa laki-laki yang ingin meminangnya namun dia selalu menolak. Kabar terakhir seorang lelaki dari pulau sebrang yang mau melamarnya, namun ia menolak dengan alasan takut peristiwa yang terjadi pada tantenya, akan menimpa pada dirinya.

Entah karena doktrin feminis, atau ijtihad pribadi, atau hanya sekedar sebuah ketakutan,Peristiwa itu berdampak besar pada dirinya, salah satunya adalah pengalaman buruk. Karena dia mengambil kesimpulan dari sudut pandang negative. Mungkin persepsi yang muncul pada dirinya adalah lelaki itu superior, wanita inferior, pernikahan adalah belenggu, sehingga jiwa feminisnya itu tersinggung. Ironinya frame pikiranya itu menyalakan cahaya negative ke seluruh tubuh. Makanya, setiap lelaki datang, ia selalu berkesimpulan sama tentang pernikahan, tentang lelaki, tentang kemerdekaan perempuan, kronisnya ia terpenjarah oleh pikiranya sendiri atau terhijabi, menggeneralisasi setiap pengalaman hingga kalimat kalimat yang muncul selalu menggunakan kalimat diksi negative, seperti; tidak, tidak bisa, tidak mau, biarin aja. Ketika dia terdesak selalu memakai jurus ampuh andalannya: emang saya begini, saya adalah saya!

DUA SISI MATA PENGALAMAN

Tergelincirnya pesawat garuda di jogjakarta beberapa bulan lalu, merupakan preseden buruk bagi penerbangan Indonesia. Bukan Cuma itu, kejadian itu meninggalkan trauma mental bagi para penumpang atau keluarga korban. Konon pak Dien Syamsuddin, salah satu penumpang yang selamat mendapatkan bisikan agar segela lompat lewat jendela. Dan Pak Dien adalah salah satu penumpang yang selamat. Mungkin andaikata Pak Dien mengingat peristiwa itu, bisa jadi dia trauma dan tidak mau lagi naik pesawat. Tapi kenyataan lain. Pengalaman akan membawa seseorang pada dua mata, yaitu traumatic dan pelajaran. Mata traumatic akan berimplikasi pada respon negative dan cara pandang yang selalu negative, hingga pada akhirnya mata ini akan membuat seseorang mengambil keputusan secara negative, karena pikiran yang negative akan memberikan sinyal pada tubuh kita secara negative pula. Adapun mata pengalaman yang kedua, akan membawa kita pada sikap dan respon untuk selalu lebih berhati-hati dan menjadikan pengalaman sebagai guru yang terbaik. Sebagaimana kata Renald Kasali dalam buku terbarunya; Pikiran itu seperti parasut, siapkan lima hal untuk melakukan perubahan besar, salah satunya adalah openes to experience melakukan perubahan besar untuk mengambil makna dari berbagai pengalaman yang telah dirasakan. Pikiran itu akan melahirkan aksi, dan aksi akan melahirkan hasil, kalau pengalaman traumatic kita jadikan pegangan untuk mengatakan tida, maka, betapapun lezatnya makanan, pikiran kita akan memberikan sinyal pada tubuh kita “jangan di makan” padahal orang-orang disekitar kita banyak yang bisa menikmatinya, namun pengalaman telah memenjara(h), sehingga kita terkungkung oleh diri kita sendiri. Sebagaimana teman saya sang feminis tadi, yang banyak menyaksikan pengalaman rumah tangga yang memenjara perempuan dan keluarga berantakan. Padahal dia sendiri belum pernah merasakan sebuah pernikahan, ironinya dia terburu-buru menjadikan pengalaman orang lain sebagai dalil untuk (tidak) belum menikah. Padahal betapa banyak wanita yang tidak terbelenggu dengan pernikahan, mengapa mereka tidak dijadikan sebagai kacabenggala yang imbang? Fatalnya ketika teman-temannya yang lain bertubi-tubi memberikan pertanyaan padanya “kapan kawin?” dia sangat stress mendengarnya, apalagi sekarang sudah bulan agustus, sehingga dia tidak bisa menjawab lagi “ mei be yes, mei be no” karena bulan mei sudah lewat.

Saya teringat cerita lucu yang entah dari mana sumbernya. Disebuah kampung, ada seorang perawan tua, setiap hari dia selalu berdoa agar di berikan jodoh yang tepat. Hari pertama datanglah seorang duda yang ingin melamarnya, namun sang perawan menolak, dengan alasan dia masih perawan. Hari kedua datang sang pengembala yang hanya tamatan sekolah rendahan, dia menolaknya, karena dia seorang sarjana yang bergelar master. Hari ketiga datanglah seorang sarjana yang pincang kakinya, diapun menolaknya dengan alasan dia gadis sempurna yang tidak cacat satupun. Setelah itu tidak ada pemuda datang lagi, dan akhirnya sang perawan meninggal. Datanglah malaikat untuk menginterogasi.

“ Mengapa kamu tidak menikah?” Tanya malaikat pada sang perawan.

“ Karena tidak ada pemuda yang cocok untukku.” Jawab sang perawan singkat.

“ Bukankah ada tiga pemuda datang melamarmu?” Bantah malaikat padanya

“ Iya tapi, hanya seorang duda, pengembala, dan sarjana pincang. Ketiga-tiganya nggak cocok buatku. Tidak ideal! Jawab sang perawan.

“Lelaki seperti apakah yang ideal buatmu?” Tanya sang malaikat lebih penasaran lagi

“Seperti Leonardo, Tom Cruise, David Bekham.” Jawab sang perawan itu singkat.

“Ketiga pemuda itulah Leonardo, Tom Cruise dan David Beckham yang sesungguhnya yang datang padamu. Hanya saja kamu salah memandangnya. Peta bukanlah wilayah, persepsi bukanlah realitas.” Kata malaikat pada sang perawan itu.

“Kalau begitu kamu divonis mati sia-sia! Karena kamu menyia-nyiakan rahim suburmu.

Sang perawan tadi tertunduk pilu, tiba-tiba dia teringat ceramahnya Ali Syariati, salah satu penjara manusia adalah faham historisme. Ia pun berdoa pada tuhan agar dikembalikan ke dunia, dan akan menerima siapapun yang datang, karena disetiap ujung kelemahan pasti ada kelebihan, dan begitulah sebaliknya.

Bersambung….



Selengkapnya...

Rabu, 01 Agustus 2007

SEMALAM BERSAMA DIAN SASTRO

Anak muda itu sudah gatal selangkangannya, selain ia jarang mandi sore, ia juga sudah lama tidak bersentuhan dengan perempuan. Maklumlah, sejak ia bekerja serabutan dan di tinggal kekasihnya yang menikah dengan temannya sendiri. Ia memutuskan untuk tidak bermain-main dengan perempuan lagi, diusianya yang cukup matang itu, ia sudah berfikir ekonomi. Makanya sejak saat itu ia berusaha menjauh dari perempuan, apalagi selama ini ia begitu maniak bercengkrama dengan perempuan-perempuan “gatal”.

Malam itu ia mencoba memejamkan matanya, dan membuang tragedy dan segala pikiran yang membuatnya resah, termasuk ia mencoba melupakan dewi yang selama ini selalu SMS untuk mengajaknya kenalan. “agar tidur tenang maka buang semua dunia, agar besok bisa menjemput hari dengan segar” pikirnya. “Tidur itu ritual, harus di lakukan dengan sepenuh hati, tumakninah, khusuk. Kalau ada masalah biarlah di lanjutkan esok hari.” Lanjut Abdul yang sedang merapikan pembaringannya.

Entah apa yang menyebabkan, kamar itu begitu harum dan rapi, tak seperti biasa, pengap dan bau apek. Setelah Abdul berpendahuluan sebelum tidur, (semacam takbiratul ikhram dalam shalat) ia pun terlelap tanpa beban dunia sedikitpun, tak lama kemudian ia melihat Dian Sastro tokoh wanita khayalannya selama ini yang mewakili kesempurnaan dan kesederhanaan seorang wanita, tidak sebagaimana selebriti yang lain yang nampak norak dalam penampilan. Dian lebih terkesan apa adanya dan lambang kecerdasan dan keindahan seorang wanita. Bagi Abdul, Dian merupakan sosok wanita yang betul-betul wanita.

Dianpun tiba-tiba membuka pintu kamar dimana Abdul sedang tidur. Walaupun tanpa salam, namun senyum Dian melambangkan arti kedamaian yang terindah yang belum pernah dilihat Abdul sebelumnya. Iapun terbangun melihat Dian di depannya, tiba-tiba Abdul langsung menyanjungnya.

“Walaupun aku tidak pernah minum anggur, menatapmu aku mabuk”

Mendengar ucapan itu, Dian hanya tersenyum, ia mengulurkan tangan kanannya pada Abdul dan mengajak pergi, Abdulpun langsung menyambut uluran itu.

Peristiwa itu betul-betul melupakan segala bentuk pikiran Abdul tentang wanita yang selama ini ia kencani, kini Abdul bukan hanya berdua dengan wanita tapi sosok bidadari cerdas yang pulang mi’raj ke bumi, yang selama ini hanya Nikholas atau Tora yang bisa mendekatinya, memegang tangannya. Tapi malam ini aku bisa melebihi kedua lelaki ganteng itu, karena Dian rela mendatangiku di kamar saat aku sedang beristirahat dari perempuan. Ujar Abdul dengan bangga pada dirinya sendiri.

“Kau sudah punya pacar Abdul?” Tanya Dian seketika, dan pertanyaan itu membuat Abdul bingung untuk menjawabnya.

“Kejujuran itu laksana eskrim, kalau tidak di lahap ia bakalan meleleh.” Ucap Dian sambil melahap halus eskrim lezat itu

“Belum!” jawab Abdul mendadak. Matanya menunduk karena tidak mampu menatap mata Dian yang bercahaya.

“Aku takut kalau aku tidak bisa melihat matahari esok lagi.” Ucap Dian pada Abdul sambil meletakkan kedua tangannya di bahu Abdul.

“sebagai latihan, kini aku belajar untuk jujur pada diri sendiri.” Abdul tidak mengerti kemana arah pembicaraan Dian. Makanya ia masih saja menundukkan pandangannya.

“Abdul aku sarjana! Cum laude, skripsiku mendapatkan nilai terbaik, aku ditawari menjadi asisten dosen.” Ungkapnya pada Abdul dengan bertubi-tubi.

“Itu semua bisa kuraih, hanya sebatas untuk latihan jujur pada diri sendiri. Setiap aku latihan jujur, aku semakin melihat orang yang mendekatiku dengan segunung kebohongan, makanya aku berkali-kali gagal mencintai sesorang, karena ada topeng yang membungkus kejujuran diantara kita. Seakan aku ini wanita yang lebih, sempurna, dan segala-galanya. Padahal aku ini hanya wanita yang kurang lebihnya sama dengan perempuan-perempuan yang lain sebagaimana kamu melihatku malam ini. Jawablah Abdul, aku ingin mendengar kata-katamu malam ini, aku juga bukan wanita yang suka menyamaratakan setiap orang.”

“Dian!” mata Abdul penuh keberanian menatap mata Dian, yang sejak tadi menyala terang

“Akupun juga seperti kebanyakan orang yang mendekatimu Dian, mataku selama ini hanya memandangmu pada nilai kelebihanmu, kesempurnaanmu, kecerdasanmu, kecantikanmu, ketenaranmu. Aku lebih bangsat dari orang yang selama ini mendekatimu memacarimu. Bahkan aku sering menghayalkanmu yang macam-macam.”

“Benarkah Abdul? Oh tuhan! Tiada yang indah dalam hidupku selain kejujuran dan berteman dengan orang yang mau jujur padaku. Kamulah lelaki pertama yang mau jujur padaku, semua apa yang kuinginkan bisa ku miliki, tapi, mendengar kata-katamu malam ini, membuat aku lebih percaya bahwa masih ada orang yang mau jujur padaku. Kamu betul-betul berkata dari dalam hatimu Abdul.inilah pengalaman terindah yang pernah ku miliki.” Dianpun memeluk erat lelaki itu, inilah kebahagian Dian dan juga Abdul, bertemu dalam wanita khayalannya.

Setiap peristiwa yang menyenangkan, waktu terasa berlalu begitu cepat, romantisme semalam itu dibuyarkan dengan deringan HP dari seseorang yang Abdul kenal.

“Halo…halooo. Abdul! Besok kamu harus bayar kontrakan. Kamu sudah terlambat satu minggu.”

“Sialan!” ketus Abdul. Peristiwa terindah itu hanya dibuyarkan oleh tagihan kontakan yang tertunggak.

Abdulpun terbangun dengan lemas, sementara Dian entah pergi kemana, tanpa pamitan. Abdul mengingat kembali peristiwa itu, ia hanya tersenyum sendirian. Hanya Tuhanlah yang tahu kejadian ini dan para malaikat yang sedang mengawasi. Saat matahari terbit Abdul mulai belajar jujur pada dirinya sendiri dan orang lain, dan ia akan berkata jujur pada ibu kost, kalau ia belum bisa membayar kontrakannya hari ini. Inilah pelajaran penting Abdul semalam bersama Dian Sastro yang mengajari Abdul untuk jujur pada diri sendiri.

Selengkapnya...

Minggu, 29 Juli 2007

REVOLUSI ALA FADEL MUHAMMAD

Seseorang dengan tujuan yang jelas, akan mampu membuat perubahan walaupun ia berada di jalan yang sulit, tapi seseorang tanpa tujuan yang jelas tidak akan mampu membuat perubahan walaupun ia berada di jalan yang mulus
(Thomas Charlyl)

Pemimpin adalah pengaruh! Begitu kata Jhon F. Kennedy. Lahirnya pemimpin tidaklah di monopoli oleh letak geografis suatu daerah, karena pemimpin lahir dari proses yang panjang. Dan yang paling utama adalah clear vision. Dengan tujuan yang jelas seseorang akan mampu di perjalankan menuju cita-citanya. Sebagaimana syair arab “ engkau menginginkan kesuksesan tapi engkau tidak berjalan pada jalannya, ketahuilah tidaklah mungkin kapal berlayar didaratan”.

Sebelum Gorontalo mendeklarasikan dirinya menjadi propinsi, ia bagaikan kota culun yang susah di jelajah dan dikenal walaupun dalam lembaran peta. Tapi, setelah ia berubah status, Gorontalo tidak hanya dikenal di tingkat lokal, namun hingga di luar negeri. Pada fase inilah Gorontalo tidak hanya dikenal damai masyarakatnya, namun menggerakkan siapa saja yang datang untuk mengikuti arus derasnya perubahan.

Fenomena ini tidak bisa dipisahkan dengan sosok baru yang tiba-tiba menjelma membawa Gorontalo pada ikon kota agropolitan, ikon yang banyak di tinggalkan oleh daerah lain yang lebih memilih metropolitan. Dialah Fadel Muhammad yang mimpinya ingin mewujudkan Gorontalo sebagai penyangga pangan nasional, saat bangsa ini lagi gemar mengimpor beras, kebijakan slum yang sudah mentradisi.

Sejak Gorontalo dipimpin Fadel, kota kecil ini menemukan posisinya sebagai rumah para petani, sehingga keberadaan kota dan desa bukan menjadi dinding pemisah, tapi sebuah jembatan yang mampu memerdekakan para petani yang selama ini hanya dijadikan main isssu saat kampanye. Dengan visi baru, menejemen baru jurusnya cukup ampuh, dengan gerakan satu juta ton jagung sebagai salah satu produk andalannya. Fadel mampu menyulap jagung Gorontalo menjadi “emas” yang bisa di jual kemana saja. Kalau dulu masyarakat hanya menjadikan jagung sebagai produk makanan bintebiluhuta (makanan khas Gorontalo yang terbuat dari jagung) kini Fadel mampu menyulap jagung menjadi “apasaja” yang dia mau.

Pengalamannya sebagai menejer atau pengusaha di perusahaan terkemuka, membuat Fadel cepat melakukan quantum dan penetrasi budaya perusahaan ke budaya pemerintahan yang terlalu birokratis, seperti bagaimana dia membuat interpreneur government, sebuah lompatan yang jarang dilakukan daerah lain, mungkin esok atau lusa, Fadel akan mewujudkan satu juta interpreneur, satu juta pemikir, satu juta menejer. Kalau anda mengunjungi daerah ini yakinlah sekarang tidaklah terlalu sulit, karena daerah ini sudah memberlakukan revolusi di bidang transportasi, yang setiap hari anda akan bisa mengunjungi kota Agropolitan Gorontalo yang sekarang lebih anggun nan cantik sebagaimana kata orang small is beautiful.
Selengkapnya...

REVOLUSI (JILBAB) HIJAU

Kejadianku sebagai arca belum lagi selesai
Tiada berbentuk tak bernilai dan bermutu
Tapi cinta memahat pribadiku, aku menjadi manusia
Dan kuperoleh ilmu dari alam fitrah alam semesta
Sudah kulihat gerak urat syaraf angkasa
Dan darah mengalir dalam urat nadi dan candera...

(Iqbal)

Kata revolusi memang begitu menakutkan, makanya dalam literature manapun revolusi selalu menjadi hantu bagi kemapanan sebuah rezim kekuasaan, dimanapun itu. Tapi setiap revolusi selalu menghadirkan wajah baru yang selama ini di kenal sebagai pemimpin, ideolog, ataupun pemikir yang bertengger diatas kata “ revolusi”.

Revolusi Iran misalnya, hingga sekarang banyak meninggalkan pikiran-pikiran yang bergentayangan. Khususnya kelas mapan yang merasa di rong-rong hingga kegerahan hingga kini masih meregenerasi pada sosok Ahmadi Nedjad yang teriak sendirian.
Tapi bagaimana kalau revolusi itu merusak tatanan hati? Ini masalah terdalam manusia, yang didalamnya terdapat sense yang salah satunya mengibarkan rasa cinta, meminjam istilah the titans, dalam albumnya “rasa ini”. Emang sih terkadang mata menangkap sesuatu yang bernilai bagi hati, ibarat senjata pemusnah, hanya sekejap kerlingan mata, hati menjadi kelpek-klepek, anehnya itulah awal gejala pemberontakannya, membuat sendi-sendi hati menjadi ngilu.

Peristiwa itu saya menyebutnya sebagai sebuah revolusi, karena peristiwa itu membuat cepat berubah, dan selalu ingin bergerak mendekatinya. Revolusi tanpa senjata, tanpa pasukan, bukan juga revolusi hijaunya HMI. Suatu malam saya mengira sosok Kate Winslate yang diutus Tuhan untuk menemuiku, aku sendiri sudah susah membedakannya, andaikan Kate melihat peristiwa itu tentu dia akan terusik, parasnya betul-betul dikonversi alias di alih rupa, apalagi dengan jilbab hijaunya.

Hati memang hanya mencintai sekejap, kaki cuma bisa melangkah sejauh lelah, tapi jilbab hijau merupakan sejarah abadi yang mampu merevolusi hati, kehadirannya meluapkan rasa, bagaikan air bah, yang mampu merubah daratan hatiku
Revolusi itu mungkin akan sedang berlangsung, tanpa pasukan tanpa senjata, yang menuntut perubahan dengan cepat, yang mampu menghadirkan rasa ini( the titans) atau revolusi jilbab hijau merupakan “ aku sedang ingin” (judul laguinya dewa)
Dibulan agustus, revolusi itu harus tetap dikumandangkan lebih besar lagi, saat hari dan bulan bersejarah, saat ulang tahun negri ini yang semakain lama semakin tak terlihat anggun. Revolusi (jilbab) hijau pilihan atau hanya sekedar perasaan yang lama tak mengenal lagi selera warna.
Selengkapnya...

DI BAWAH BAYANG-BAYANG (REVOLUSI) SENDIRI

Tiga orang bodoh lebih baik dari satu Einstein
(film I Not Stupied)

Coba bentangkan kedua tangan anda. Pasti kamu akan mendapati 10 jari yang siap beraksi kapanpun anda mau. Tapi tunggu dulu. Secara otomatis kesepuluh jari anda akan melakukan apapun yang anda perintah, termasuk kapan dia harus bekerja sama atau sendiri(an). Kalau anda mau mengupil, maka dia akan melakukan sendiri tanpa minta bantuan yang lain, atau saat marah, menyalahkan orang lain, dia akan menunjuk dengan jari telunjuk tanpa bantuan orang lain.

Hanya sebatas begitulah kalau sendiri. Bagaimana mungkin perubahan besar terjadi kalau dilakukan hanya sebatas sendirian. Philosophy jari kita telah membuktikan, dengan bekerja sendiri hanya sebatas kekuatannya untuk mengupil atau memaki-maki orang lain.

Tapi kalau sepuluh jari itu kau satukan kekuatannya, mereka akan mampu meledakkan apapun, termasuk menjatuhkan lawan anda di ring saat ronde ke sepuluh atau dua belas di pertandingan tinjau.

Bukan cuma itu, dengan kekuatan tim jari, anda mampu menyulap semua yang berantakan menjadi indah. Atau dengan tulisan penanya yang di goreskan membuat orang marah dan keringatan. Itulah yang disebut sinergis yang dalam satu bukunya Steven Covey menempatkan kata sinergis itu sebagai tujuh kebiasaan orang-orang besar.
Jangan lupa! Penyakit kerja sama adalah sebuah ego yang selama ini ditampilkan oleh jari anda. Di mana anda menaruh cincin? Pasti di jari manis, saat mengupil, pasti pakai jari telunjuk. Saat menyanjung orang, pasti pakai jempol. Tapi saat meninjau orang, maka anda membutuhkan kepalan jari itu, kalau ego tidak kau tempatkan sebagaimana mestinya, berhati-hatilah! Ego akan menjadi salah satu penjara yang bisa mengungkungmu dari aktivisme, makanya Ali Syariati, menempatkan ego sebagai bagian dari empat penjara manusia.

Sebuah perubahan besar dimulai dari sebuah pandangan yang menggelisahkan, kecenderungan masyarakat yang jauh dari idealisme, yang melenceng jauh dari kemanusiaannya, hingga fenomena itu menelisik kesadaran kita untuk merubahnya. Olehnya perubahan harus dimulai. Ya! Dimulai dari diri sendiri, sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang berpengaruh di zamannya. Untuk itu bercerminlah sekarang! Dimanakah titik tujuan dan dari mana mesti kita mulai, saat bercermin, katakana pada dirimu! what do you see when you look at the mirror?
Selengkapnya...

Jumat, 27 Juli 2007

Freedom Your Self!!!

"Aku memberontak karena aku ada"

Menjadi manusia tawanan merupakan potret sejarah panjang yang pernah di pentaskan manusia. sebuah bangsa, sebuah kerajaan, sebuah keluarga bahkan diri sendiri. oleh karena itu bagi siapa saja yang tak sengaja menemukan manuskrip kata-kata usang di blog ini. LEWATKANLAH!!!

Janganlah sekali-kali dibaca. Karena jangan sampai Anda menjadi pemberontak sebagaimana para pemberontak yang telah hadir di pentas dunia.

Tapi kalau Anda ngotot untuk membacanya, maka LUPAKANLAH!!! Karena kita sudah biasa menjadi manusia pelupa. Namun kalau anda berteriak bertakbir, maka merdekakan dirimu.

Sebab kamu akan menjadi manusia paling bebas, yang tidak pernah terbatasi oleh teritorial, waktu dan tidak lekang di telan zaman sebagaimana para pemberontak dunia yang tidak mau terpenjara dan terjarah oleh hal-hal yang selama ini membuat orang menjadi pelupa.
Selengkapnya...