Rabu, 01 Agustus 2007

SEMALAM BERSAMA DIAN SASTRO

Anak muda itu sudah gatal selangkangannya, selain ia jarang mandi sore, ia juga sudah lama tidak bersentuhan dengan perempuan. Maklumlah, sejak ia bekerja serabutan dan di tinggal kekasihnya yang menikah dengan temannya sendiri. Ia memutuskan untuk tidak bermain-main dengan perempuan lagi, diusianya yang cukup matang itu, ia sudah berfikir ekonomi. Makanya sejak saat itu ia berusaha menjauh dari perempuan, apalagi selama ini ia begitu maniak bercengkrama dengan perempuan-perempuan “gatal”.

Malam itu ia mencoba memejamkan matanya, dan membuang tragedy dan segala pikiran yang membuatnya resah, termasuk ia mencoba melupakan dewi yang selama ini selalu SMS untuk mengajaknya kenalan. “agar tidur tenang maka buang semua dunia, agar besok bisa menjemput hari dengan segar” pikirnya. “Tidur itu ritual, harus di lakukan dengan sepenuh hati, tumakninah, khusuk. Kalau ada masalah biarlah di lanjutkan esok hari.” Lanjut Abdul yang sedang merapikan pembaringannya.

Entah apa yang menyebabkan, kamar itu begitu harum dan rapi, tak seperti biasa, pengap dan bau apek. Setelah Abdul berpendahuluan sebelum tidur, (semacam takbiratul ikhram dalam shalat) ia pun terlelap tanpa beban dunia sedikitpun, tak lama kemudian ia melihat Dian Sastro tokoh wanita khayalannya selama ini yang mewakili kesempurnaan dan kesederhanaan seorang wanita, tidak sebagaimana selebriti yang lain yang nampak norak dalam penampilan. Dian lebih terkesan apa adanya dan lambang kecerdasan dan keindahan seorang wanita. Bagi Abdul, Dian merupakan sosok wanita yang betul-betul wanita.

Dianpun tiba-tiba membuka pintu kamar dimana Abdul sedang tidur. Walaupun tanpa salam, namun senyum Dian melambangkan arti kedamaian yang terindah yang belum pernah dilihat Abdul sebelumnya. Iapun terbangun melihat Dian di depannya, tiba-tiba Abdul langsung menyanjungnya.

“Walaupun aku tidak pernah minum anggur, menatapmu aku mabuk”

Mendengar ucapan itu, Dian hanya tersenyum, ia mengulurkan tangan kanannya pada Abdul dan mengajak pergi, Abdulpun langsung menyambut uluran itu.

Peristiwa itu betul-betul melupakan segala bentuk pikiran Abdul tentang wanita yang selama ini ia kencani, kini Abdul bukan hanya berdua dengan wanita tapi sosok bidadari cerdas yang pulang mi’raj ke bumi, yang selama ini hanya Nikholas atau Tora yang bisa mendekatinya, memegang tangannya. Tapi malam ini aku bisa melebihi kedua lelaki ganteng itu, karena Dian rela mendatangiku di kamar saat aku sedang beristirahat dari perempuan. Ujar Abdul dengan bangga pada dirinya sendiri.

“Kau sudah punya pacar Abdul?” Tanya Dian seketika, dan pertanyaan itu membuat Abdul bingung untuk menjawabnya.

“Kejujuran itu laksana eskrim, kalau tidak di lahap ia bakalan meleleh.” Ucap Dian sambil melahap halus eskrim lezat itu

“Belum!” jawab Abdul mendadak. Matanya menunduk karena tidak mampu menatap mata Dian yang bercahaya.

“Aku takut kalau aku tidak bisa melihat matahari esok lagi.” Ucap Dian pada Abdul sambil meletakkan kedua tangannya di bahu Abdul.

“sebagai latihan, kini aku belajar untuk jujur pada diri sendiri.” Abdul tidak mengerti kemana arah pembicaraan Dian. Makanya ia masih saja menundukkan pandangannya.

“Abdul aku sarjana! Cum laude, skripsiku mendapatkan nilai terbaik, aku ditawari menjadi asisten dosen.” Ungkapnya pada Abdul dengan bertubi-tubi.

“Itu semua bisa kuraih, hanya sebatas untuk latihan jujur pada diri sendiri. Setiap aku latihan jujur, aku semakin melihat orang yang mendekatiku dengan segunung kebohongan, makanya aku berkali-kali gagal mencintai sesorang, karena ada topeng yang membungkus kejujuran diantara kita. Seakan aku ini wanita yang lebih, sempurna, dan segala-galanya. Padahal aku ini hanya wanita yang kurang lebihnya sama dengan perempuan-perempuan yang lain sebagaimana kamu melihatku malam ini. Jawablah Abdul, aku ingin mendengar kata-katamu malam ini, aku juga bukan wanita yang suka menyamaratakan setiap orang.”

“Dian!” mata Abdul penuh keberanian menatap mata Dian, yang sejak tadi menyala terang

“Akupun juga seperti kebanyakan orang yang mendekatimu Dian, mataku selama ini hanya memandangmu pada nilai kelebihanmu, kesempurnaanmu, kecerdasanmu, kecantikanmu, ketenaranmu. Aku lebih bangsat dari orang yang selama ini mendekatimu memacarimu. Bahkan aku sering menghayalkanmu yang macam-macam.”

“Benarkah Abdul? Oh tuhan! Tiada yang indah dalam hidupku selain kejujuran dan berteman dengan orang yang mau jujur padaku. Kamulah lelaki pertama yang mau jujur padaku, semua apa yang kuinginkan bisa ku miliki, tapi, mendengar kata-katamu malam ini, membuat aku lebih percaya bahwa masih ada orang yang mau jujur padaku. Kamu betul-betul berkata dari dalam hatimu Abdul.inilah pengalaman terindah yang pernah ku miliki.” Dianpun memeluk erat lelaki itu, inilah kebahagian Dian dan juga Abdul, bertemu dalam wanita khayalannya.

Setiap peristiwa yang menyenangkan, waktu terasa berlalu begitu cepat, romantisme semalam itu dibuyarkan dengan deringan HP dari seseorang yang Abdul kenal.

“Halo…halooo. Abdul! Besok kamu harus bayar kontrakan. Kamu sudah terlambat satu minggu.”

“Sialan!” ketus Abdul. Peristiwa terindah itu hanya dibuyarkan oleh tagihan kontakan yang tertunggak.

Abdulpun terbangun dengan lemas, sementara Dian entah pergi kemana, tanpa pamitan. Abdul mengingat kembali peristiwa itu, ia hanya tersenyum sendirian. Hanya Tuhanlah yang tahu kejadian ini dan para malaikat yang sedang mengawasi. Saat matahari terbit Abdul mulai belajar jujur pada dirinya sendiri dan orang lain, dan ia akan berkata jujur pada ibu kost, kalau ia belum bisa membayar kontrakannya hari ini. Inilah pelajaran penting Abdul semalam bersama Dian Sastro yang mengajari Abdul untuk jujur pada diri sendiri.

Tidak ada komentar: